klangenanItu lima tahun silam, saya mengira-ira, ketika langkah kakinya meninggalkan lantai 4 Gedung Graha Pena, Semarang. Langkah kaki penuh harapan untuk kemudian menahkodai perahu diantara badai dan ombak setinggi tiang.

Itu lima tahun, saya mengira-ira, saya tak pernah berjumpa dengannya. Lelaki yang penuh argumen-argumen segar yang sesekali diselipi tawa meledak. Arief Firhanusa. Iya, lelaki yang pernah membimbing saya menulis. Lelaki yang meski sudah dikaruniai dua anak, tetapi jiwanya selalu menggelegak. Lelaki yang darinyalah saya selalu belajar.

Saya memanggilnya dengan Abang. Sebutan bagi saudara laki-laki. Saya selalu menganggap orang yang mau memberi saya sekelumit ilmu dengan sebutan Abang. Karena dari Abang saya itulah, saya belajar menatah kata, membesut kalimat.

Itu lima tahun, saya mengira-ira, saya tak pernah berjumpa dengannya. Hanya saling sapa melalui Blog, YM bahkan SMS. Telepon pun hanya sesekali. Menyedihkan memang. Bagaimana lagi, waktu, kesibukan dan tempat menyebabkan saya jarang sekali bertatap muka denganya.Padahal, sungguh saya merindukan diskusi dengannya. Membicarakan perempuan cantik, tulisan, atau mengenang saat masih sekantor dulu.

Itu lima tahun, saya mengira-ira, saya tak pernah berjumpa dengannya. Hingga Jumat dua pekan lalu, saya memiliki kesempatan untuk berjabat tangan dengannya. Langkah kecil saya menyusuri paving block parkiran Citraland untuk menyapa Abang saya itu. Itu dia Abang saya, sedang menghadap komputer. Sedang asyik nampaknya.

“Bang,” saya colek lengannya.
“Sehat bang,” sambung saya

Dia kaget, lalu menyalami saya. Saya dipersilahkan duduk olehnya. Tapi, dia meminta waktu barang sebentar untuk menyelesaikan tulisannya. Saya duduk. Memandangi wajah yang pernah saya kenal. Wajah yang tegas pertanda kuat dihajar gelombang. Memori tentangnya masih lekat betul dikepala saya. Bagaimana ia selalu memberikan petuah-petuah melalui cerita hidupnya. Saya menyukainya. Ya, saya menyukai jika ia sedang bercerita.

Itu lima tahun saya mengira-ira, dan saya memang rindu bertemu dengannya. Saya masih ingin berlama-lama dengannya. Karena waktu satu jam tak cukup untuk menuntaskan kerinduan saya.

“Kapan kamu menikah,” katanya. Saya tergagap.
“Insyaallah tahun ini bang,”

Ia lalu menyuntikkan sedikit wejangan untuk menguatkan mental saya. Ini salah satu hal yang membuat saya suka ketika dekat dengannya. Nasehatnya kadang membuat saya terkuatkan, membuat batin ini ringan, seringan kapas.

“Menjadi suami itu Blue, bukan seperti diangkat menjadi Ketua RT, melainkan berurusan dengan hiruk pikuk keseharian lewat mata yang selalu terjaga dan hati yang terpelihara,” kata abang saya. Ia berhenti sejenak. Menghisap batang cigarette dan mengepulkan asapnya.

“Menjadi suami itu Blue, tak boleh lagi mengerling betis perempuan, menyengsarakan anak-anak, dan memasung sanubari dengan kepala penuh bara tatkala kesulitan membelit,” cecarnya. Saya hanya mengangguk-angguk, dan tersenyum kecut.
“Kamu siap, blue?”

Saya hanya terkekeh.

.
Terimakasih, Bang!!