mygirl.jpg

Memahami perempuan memang susah. Sama susahnya untuk mencoba menjadi orang yang setia. Keduanya rumit. Jauh lebih rumit di banding rumus fisika. Bahkan lebih gampang hitung-hitungan fisika karena ilmu pasti, jawaban yang dibutuhkan pun tidak lagi relatif. Ketemu rumus, pencet kalkulator, dapat jawaban. Tapi kalau memahami perasaaan perempuan? Meski sudah pakai rumus apapun tetap saja salah.

Saya termasuk orang yang paling susah menerapkan rumus menaklukkan hati perempuan. Khususnya (memahami) hati pacar saya. Ribuan tips sudah saya telan, saya praktikkan step by step, tanpa ada yang kelewatan. Hasilnya, bukan memuaskan, malah paling sering dapat umpatan. Padahal sudah enam tahun saya pacaran. Sejak saya taklukkan hatinya dengan petikan kata-kata yang saya hafalkan dari bukunya kahlil gibran. Luar biasa dahsyat pengorbaanan saya waktu itu.

Sebenarnya, enam tahun itu bukan waktu yang singkat untuk sekedar saling mengerti. Kalau saja pada tahun pertama langsung saya setubuhi dia, pasti anak saya sudah sekolah sekarang. Minimal TK lah. Nah, kalau cuman untuk membahagiakan dia, tidak membuat dia marah, tak harus membutuhkan waktu sepanjang itu kan?

Ironisnya, saya ini orang yang selalu mengalah. Kalau pacar saya sudah kambuh marahnya, justru saya yang akhirnya mengalah. Saya biarkan dia mengata-ngatai saya. Biar puas. Meski tidak salah pun, kata-kata maaf pertama selalu terlontar dari mulut saya. Maksudnya agar marahnya cepat mereda. Karena selepas itu, biasanya dia yang paling getol menciumi saya. Dipeluk-peluk sampai kusut semua baju kita.

Atau gara-gara sering mengalah itu, justru membuat dia kecanduan, lantas sering marah tanpa sebab? Apa saya harus tegas saja?

Sebenarnya bukan saya tidak bisa tegas. Suatu ketika saya pernah ikutan marah, karena saya terlanjur jengkel. Puncak mangkel itu terjadi karena tanpa sebab dia menuduh saya selingkuh. Padahal boro-boro selingkuh, mendekati perempuan saja saya gemetar.

Yang terjadi selanjutnya, pertengkaran justru semakin dahsyat. Berhari-hari saya di nengke. Didiemin. Sampai saya tidak tahan, lalu minta maaf. Habisnya, saya kangen. Mungkin karena sudah terlanjur jatuh hati. Cinta mati rasanya. Sebegitu besarnya, hingga saya bela-belain rujuk. Kalau saja saya tidak cinta, mungkin sudah lama saya pisah sama dia.

Saya ini merasa beruntung punya pacar seperti dia. Bayangkan saja, sudah dianya cantik, pinter, kerja di bank, jago nyanyi lagi. Bandingkan dengan saya ini yang jelek, hitam, kurus, rambut kriwil, kerjaan juga cuman nongkrong doank. Apa nggak beruntung coba? Saya rela orang menilai dia goblok nyari pacar, yang penting saya pintar nyari calon istri. Itu sudah membuat saya puas.

Tapi meski saya jelek dan hitam, saya ini penganut lelaki yang setia. Artinya, meski saya sering tebar pesona kemana-mana, tapi hati saya tetap saya tambatkan di hati pacar saya itu. Tapi nyatanya, kesetiaan saya tidak pernah ia pahami secara sungguh-sungguh. Buktinya ketika saya bilang setia, dia tak pernah percaya. Salah lagi kan?

Puncaknya kemarin ini, ketika kita lagi asik njajan, tiba-tiba ada miss call masuk. Itu nomer perempuan yang saya kenal saat liputan. Gobloknya, nomor itu saya simpan dengan nama cantik. Langsung saja telepon genggam saya matikan. Waduh, gemetar rasanya. Takut kalau-kalau dia curiga. Dan benar saja, dia langsung mendamprat saya.

Dia ambil ponsel saya, dihidupkan, lalu balas menelepon. Sudah tidak bisa berdiri saja waktu itu. Kaki seperti gemetar.

“Hallo siapa ini?” kata pacar saya.
“Iya, ini siapa” suara laki-laki.

Ya, suara laki-laki. Mak plong hati saya. Telepon langsung dimatikan.
Tapi sedetik kemudian, muka pacar saya merah padam. Matanya nyalang.

“A’a..” teriaknya.
“A’a pacaran sama laki-laki ya!! A’a homo sekarang!!”

Saya terperanjat.

Kemanggisan, 02 November 2007
03.02

* Judul postingan ini terinspirasi dari judul film My Wife is a Gangster.